![]() |
Gambar via tirto.id |
Ahmad Suparman (Mahasiswa Jurnalistik)
Sewaktu saya menjadi mahasiswa baru (maba) Prodi Jurnalistik angkatan 022 Universitas Haluoleo banyak semarak gerakan penolakan UUD Cipta Kerja oleh mahasiswa. Paling saya notice adalah mahasiswa teman-teman sekampus saya yang ikut turun ke jalan. Berorasi, demo, bakar ban.
Saya yang merantau ke Kendari, melihat euforia demo waktu itu, sempat berdecak kagum. Benar-benar mahasiswa itu penyambung lidah masyarakat, mewakili aspirasi masyarakat, berjuang demi masyarakat.
Rasa kagum saya itu tidak bertahan lama. Selanjutnya saya dibuat bingung dan bertanya-tanya, mengapa gerakan penolakan UUD Cipta Kerja itu jarang ada mahasiswa/i yang melakukan penolakan lewat media, lewat pemanfaatan perkembangan digitalisasi?
Padahal akan sangat menarik jika ada penolakan lewat media, lewat konten-konten unik dan menarik. Bukankah konsep viral dulu baru demo itu nyata? Hal ini yang membuat saya bertanya-tanya, apakah masih minimnya edukasi mengenai perlawanan, penolakan lewat konten, lewat media, dan lain sebagainya?
Terkait konsep viral dulu baru demo hal ini memang akan sangat efektif. Tidak akan ada gunanya kalau sebuah aspirasi, sebuah permasalahan, tidak dihiraukan oleh pemerintah. Maka dari itu, alangkah baiknya viralkan terlebih dahulu lewat media, lewat konten-konten menarik dan inovatif dengan mencirikan seorang mahasiswa/i yang dekat dengan lingkungan akademisi agar dilihat, di-notice oleh pemerintah.
Daripada langsung aksi, langsung demo. Sudah tidak efektif bahkan cenderung mengundang stereotipe dari masyarakat. “Ngapain demo coba? Buang-buang waktu,” “Bikin macet jalanan,” “Brisik, ribut,” dan masih banyak lagi pandangan-pandangan buruk masyarakat terkait mahasiswa yang demo turun ke jalan.
Apakah demo salah? Dibilang salah, tentu tidak. Mahasiswa sebagai agen perubahan bebas mengeluarkan pendapat. Hal ini juga sudah dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Negara memberikan jaminan dan perlindungan mengenai kebebasan berpendapat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat tercantum dalam Pasal 23 Ayat (2) dan Pasal 25.
Hanya saja, era sudah berubah, bertransformasi menjadi era digital. Sudah banyak perubahan yang terjadi termasuk perubahan komunikasi politik.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unnes Ngabiyanto angkat bicara. Menurutnya, gerakan mahasiswa tahun 70-an atau tahun 1998 telah menjadi inspirasi yang terjadi saat ini. Pemantik demo awalnya dari gerakan tersebut, turun-temurun, dan berlanjut sampai sekarang.
Dalam perspektif Dosen Fakultas Ilmu Sosial Unnes ini, orientasi komunikasi politik saat ini telah berubah ke dalam dunia digital.
“Karena sekarang turunnya itu di media sosial, di dunia digital, kita sudah menjadi netizen. Yang penting dalam sebuah kritik atau komunikasi politik adalah bagaimana kritik ini dapat tersampaikan secara masif. Orientasi berubah, cara harus berubah.” imbuhnya.
Ingat lagi kasus viral yang dilakukan oleh akun @awbimaxreborn (Bima Yudho Saputro) seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan pengguruan tinggi di Australia. Dalam video akun sosial medianya yang berjudul Alasan Kenapa Lampung Gak Maju-maju beliau mengkritik Pemerintahan Provinsi Lampung karena lambannya memperbaiki jalan yang rusak.
Speak up yang dilakukan rupanya mendapat respon berupa dugaan intimidasi terhadap keluarganya, meski di sisi lain banyak masyarakat mengapresiasi dan memberikan dukungan. Bahkan beberapa pejabat pemerintah mendukung atas apa yang disampaikannya, seperti Mahfud MD (Menkopolhukam), Hotman Paris (Pengacara), Ahmad Sahroni (Wakil Ketua Komisi III DPR RI).
Responnya lebih cepat, langsung mendapat perhatian dari Pemerintahan Provinsi Lampung. Bahkan kritik atau perlawanan yang dilakukan dengan pemanfaatan digitalisasi sekarang, perkembangan sosial media, mampu menjaring dukungan yang sepaham dengan aspirasi yang dibawakan. Contoh saja dari kasus Bima Yudho Saputro.
Kalau dengan jalur demo, apakah respon yang didapat bisa secepat daripada lewat jalur viral terlebih dahulu? Presentasinya sangat kecil. Selain itu juga, mengiangat resiko demo yang sangat besar. Mahasiswa harus berhadapan dengan aparat, gas air mata, dan hal berbahaya lainnya di jalan.
Belum lagi munculnya oknum yang kerap memprovokasi jalannya demo yang tadinya kondusif menjadi ricuh. Pantaskah mahasiswa yang mendapat jargon agent of change harus terus-terusan mengadopsi cara usang dalam menyalurkan aspirasi?
Sederhananya ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyalurkan aspirasi. Tidak meluluk lewat demo, terlebih, era sudah berubah. Perkembangan digital begitu masif dilakukan. Akan sangat merugi kalau seorang mahasiswa/i terus-terusan mengadopsi cara lama dan tidak mau mencoba mengikuti zaman.
Tidak ada yang salah melalui cara apa aspirasi itu disampaikan. Kebebasan berpendapat dijamin oleh negara. Menjadi masalah, efektifkah penyampaian aspirasi itu? Terlebih lagi bagi mahasiswa yang dekat dengan lingkungan akademis. Bagaimana penyaluran aspirasi itu dilakukan dalam lingkup akademis yang efektif dan tepat sasaran. Bagus lagi kalau bisa menjaring banyak orang untuk ikut memperjuangkan hal yang sama.
Media sosial bisa menjadi jawaban dari itu semua. Istilah The Power Of Netizen itu memang betul. Orang bisa berkumpul dalam satu platform media yang sama dan sama-sama memperjuangkan sebuah aspirasi walaupun tidak saling mengenal satu sama lain. Tugas mahasiswa adalah memberikan contoh bagaimana berpendapat yang baik di media sosial, bagaimana bisa beradaptasi di era digital, lewat pendekatan akademis.
Post a Comment for "Kiat Berdemo Untuk Mahasiswa "