![]() |
Via Pixabay |
Akhir tahun adalah fase paling merepotkan bagi pimpinan lembaga kemahasiswaan kampus. Era menciptakan regenerasi untuk menjadi "sebagai."
Tulisan Ini beranjak dari pengalaman pribadi yang terlibat dalam proses politik kampus. Melihat, mendengar dan merasakan.
Senior saya pernah bilang, "Dinamika politik Kampus itu berat, jadi kamu dinda, belajar dulu baik-baik". Saya jawab, "siap bang."
Lalu, yang dinamakan dinamika politik kemahasiswaan kampus itu tubuhnya bagaimana?
Bargaining, konsolidasi, koalisi, Mc, lobi, jejaring, konflik, kubu, aliansi, sayap, dan lain-lain adalah istilah yang kerap digunakan pada saat momentum politik kampus. Ada kelompok yang hadir sebagai oposisi dan tentunya ada petahana dengan perangkat kerasnya. Persis dengan miniatur hiruk pikuk politik bangsa.
Figur akan membawa master campnya, untuk tawar menawar dengan pertimbangan akademis dan strategis kepada pihak tertentu.
Ada juga maba dengan ketidak tahuan nya, tiba-tiba di seret untuk terlibat dalam sesuatu yang dikatakan bernuansa politis, ialah PEMIRA, katakanlah!
Kalau dalam manajemen konflik, ada suatu model yang digunakan untuk jalan alternatif sepihak untuk menyelamatkan marwah organisasi, adalah model manajemen konflik Distributif, sederhana untuk kita pahami adalah Aklamasi.
Kenapa sampai manajemen konflik dibawa-bawa? Ia jelas toh, namanya pemira kampus pasti ada gejala dan timbul konflik. Politik itu sarat dengan kepentingan. Kepentingan si A,B,C, sampai Z.
Lalu ketika pihak yang diperjuangkan itu menang, kemudian orang-orang yang gerak ini dapat apa? Dapat ilmu praktis, mahasiswa sudah tahu melobi, membangun jejaring, berkomunikasi dengan baik, berkonflik juga dengan apik, asik betul mahasiswa ini.
Pada kesempatan lain, ada koalisi yang sudah terbangun. Masing-masing sudah punya arah langkah bersama untuk memenangkan pasangan yang mereka usung. Besoknya, koalisi itu sudah pecah, atau masih masih tetap konsisten. Disinilah senior berperan. Mengawal sekaligus memberikan masukan dan penerangan berdasarkan pengalamannya.
"Belajarlah dari kampus, masuklah dalam lingkungan organisasi, berproses dan berdinamika lah!" Itu adalah ujaran yang sering digaungkan oleh senior-senior anda dan saya. Itu betul. Tidak ada masalah. Yang masalah adalah ketika bentuk konflik yang menjadi hasil dalam proses itu jalan terus-menerus dan berkembang biak. Akhirnya mempersempit ruang gerak.
Katakanlah si A masuk kubu itu, lalu kubu B karena merasa tak didukung sebelumnya, tak akan pernah memberikan ruang kepada si A jika ia memperoleh kemenangan dalam kontestasi. Itu fenomena yang sering di jumpai, tapi tak semua juga.
Belajar saja dari Jokowi dan Prabowo dalam kapasitas sebagai Presiden dan Menteri. Sebersih itu hati pak Prabowo. Jokowi ini menjadi lawan dalam pertarungan politik, kemudian setelah Jokowi melanjutkan periode ke duanya, Prabowo menerima pinangan Jokowi sebagai menteri Pertahanan. Asli.
Dinamika politik kampus adalah sesuatu yang rumit dan kompleks. Ada yang akan naik ke puncak, ada juga yang bahkan anjlok, kemungkinan terburuk tak dapat ruang apa-apa kecuali fokus studi dan eksternal. Ini adalah satu golongan yang tak mau tahu dan bodoh amat. Yah kuliah saja, pun juga berorganisasi bagi mahasiswa adalah bukan lagu wajib.
Sedangkan lagu pilihan mahasiswa adalah berorganisasi yang jika didengungkan memiliki ritme bertalu-talu. Disini kita dapat memperoleh ilmu praktis dan pragmatis juga. Pragmatis itu makhluk macam apa? Entah.
Dalam politik kampus, mahasiswa sering terlibat dalam pertarungan strategi, gagasan, ide, pikiran dan segala macam hal. Tapi yang paling penting kalau anda mau menjadi calon pimpinan lembaga tertentu, siapkan saja duit dan koneksi orang dalam. Untuk visi misi urusan belakangan. Kalau Menang, syukuri, kalau kalah, yah itu sudah jadi kenyataan.
Post a Comment for "Carut Marut Politik Kampus "