Gambar : Panjat Pinang oleh bocah.
Musafar Ukba,
Harianpelajar.or.id, Kendari - Menuju Satu abad, Perjalanan Bahtera Republik Indonesia. Selama 78 Tahun bangsa kita terbebas dari belenggu kolonialisme dan imperialisme.
Seremonial tiap tahun digelar. Dari riak-riak manusia yang menghentakkan kakinya, Lomba beragam lomba, sampai maha karya yang di persembahkan dari insan bangsa ini demi suatu bakti.
Apa yang hendak kita persembahkan?
Apakah jika kita menghamba kepada bangsa ini? Lalu tiba-tiba, di cap Menyekutukan Tuhan. Wujud Ajaran dari mana lagi menyembah Negeri ini!
Negeri yang kaya, kota-kota megah, sampai wilayah-wilayah pelosok tahu, mesti tancap Panji Merah putih depan pekarangan rumah.
Pembangunan Infrastruktur telah menciptakan hiruk pikuk. Orang-orang pada hilir mudik siang malam tak henti-henti. Perut keroncongan pun tak henti menggerutu. Memanggil Dengan suara parau, tak terjamah.
Bangsa ini meski hidup dengan napas yang merdeka. Udara yang segar bugar nan jelita. Pertiwi berbaring merelakan jiwa raga untuk menjadi alur pikiran manusia dengan segala aktifitasnya. Ia kadang-kadang sakit, merasakan tetesan air mata yang meniti.
Lagi-lagi bangsa telah merdeka. Sudah tentu! Bila tiap tanah di pelosok itu tersentuh atau mencium bau wangi nahkoda kapal Tua, maka barangkali bau bangkai itu tidak mesti mengganggu pernapasan anak-anak kecil. Tiap jengkal tanah merindu, menjadi pijakan kaki dari Sang Pemegang kendali Itu.
Ada empat Pulau Besar, tapi rasa-rasanya yang lain merasa di nomor duakan. Ada juga peradaban yang baru hendak diciptakan, dan sekarang ada banyak binatang melata melalang buana. Burung yang memperdengarkan simfoni merdunya, pergi entah kemana.
Jangan lagi kalimat dalam nyanyian pertiwi berbunyi, "Kini Ibu Sedang Lara" berwujud dengan nyata. Tanah ini menyimpan Pusaka berharga. Dari tangan-tangan keriput yang menjaga untuk kelangsungan masa depan.
Lalu tiba-tiba enyah dari negeri sendiri. Kemudian tiba dengan campur tangan asing lalu kita beli kembali, padahal kita rawat di tanah sendiri.
Ini suara dari pelosok. Meski tak berarti apa-apa, yang penting keluh kesah menuliskan jejak tintanya. Siapa tahu, Dua Puluh Tahun ke depan suara parau ini bisa mengganggu pikiran di sana. Iya Moga-moga pada dekade-dekade mendatang. Merdeka Negeri Ku.
Post a Comment for "Dari Pelosok, Merefleksi Dirgahayu Indonesia"