Blogger Jateng

Cerpen: Bercanda Serius | Harian Pelajar

Ilustrasi: Laugh


 
Suatu hari di sebuah kantor yang tampaknya biasa-biasa saja, ada tiga rekan kerja: Pak Arif, Bu Tuti, dan Mas Gani. Mereka dikenal di kantor sebagai “trio serius,” karena wajah mereka jarang tersenyum, apalagi tertawa terbahak-bahak. Namun, hari itu, mereka memutuskan untuk memperbaiki suasana. Sebagai tanda kebersamaan, Pak Arif mengusulkan untuk mencoba sesi "joke time" di ruang istirahat kantor.

"Jadi gini," kata Pak Arif sambil berdiri tegap dengan kertas di tangannya, "kita ini kan dewasa. Kita tahu kapan bercanda, kapan serius. Tapi coba deh, sekali-sekali kita buat waktu khusus buat jokes. Biar suasana lebih cair."

Mas Gani, si paling pendiam, mengangguk dengan tatapan kosong. "Iya, Pak. Siap. Saya siap menerima joke. Silakan mulai."

Bu Tuti pun tersenyum simpul, "Saya ikut saja. Tapi ingat, jokes harus ada maknanya ya, jangan asal lelucon."

Pak Arif mengangguk serius. "Tentu. Kita semua dewasa di sini. Jangan khawatir. Nah, saya mulai ya."

Sambil membersihkan tenggorokannya, Pak Arif memulai dengan lelucon klasik. "Kenapa ayam menyeberang jalan?"

Mas Gani dan Bu Tuti menatapnya, menunggu dengan ekspresi tegang. “Untuk apa, Pak?”

Pak Arif tersenyum kecil, lalu menjawab dengan penuh wibawa, "Untuk pergi ke sisi lain."

Sunyi. Ruangan terasa seperti perpustakaan yang terlalu tenang. Bu Tuti melirik ke arah Mas Gani, berharap ada reaksi. Mas Gani malah mengambil cangkir kopinya dan menyeruput perlahan.

Pak Arif, yang merasa suasana agak aneh, mencoba menjelaskan, “Jadi, ayam itu kan, ya, dia punya tujuan. Menyeberang jalan itu sebuah metafora kehidupan…”

Bu Tuti memotong. “Oh, saya mengerti. Ini tentang filosofi perjalanan hidup, kan, Pak? Bahwa kita semua akan sampai ke 'sisi lain' dalam hidup kita.”

Pak Arif tersenyum lebar, puas karena leluconnya dianggap mendalam. "Tepat sekali, Bu Tuti. Memang harus ada pelajaran di setiap jokes."

Namun, suasana jadi terlalu serius. Mas Gani, yang sedari tadi diam, tiba-tiba bersuara, “Pak, kalau boleh, saya mau coba jokes juga. Tapi jangan harap bisa ngakak ya.”

Pak Arif mengangguk antusias. "Ayo, Mas Gani, tunjukkan bakatmu!"

Mas Gani menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan datar, “Dua orang masuk ke bar... lalu mereka keluar lagi karena bar-nya tutup.”

Lagi-lagi, sunyi. Pak Arif menatapnya penuh perenungan. “Hmmm… ini pasti soal kekecewaan dalam kehidupan modern. Ya, ya. Sangat dalam. Lucu karena realita kita menghadapi ekspektasi yang selalu tidak sesuai.”

Bu Tuti mengangguk serius, “Jadi, bar itu mungkin melambangkan harapan kosong, ya? Kadang kita masuk ke situasi dengan ekspektasi tinggi, tapi realitanya nihil. Bagus sekali, Mas Gani.”

Mas Gani mengerutkan kening. “Bukan, itu cuma bar tutup aja, Bu.”

Tiba-tiba suasana jadi sangat aneh. Pak Arif mencoba tertawa kecil, "Oh, oh iya, tentu. Hahaha… kocak banget ya kalau dipikir-pikir."

Bu Tuti, yang sudah mulai mengalirkan air mata saking fokusnya dengan filosofi bar tadi, menghela napas panjang. “Jokes dewasa ini memang berat ya. Saya sampai harus merenung.”

Tepat ketika suasana mulai tenang lagi, Bu Tuti pun merasa harus mengambil giliran. "Oke, giliran saya. Ini jokes favorit saya: Kenapa komputer selalu bawa topi?"

Pak Arif dan Mas Gani saling menatap, menunggu jawaban. "Karena dia punya banyak program yang harus dijalankan," jawab Bu Tuti, dengan ekspresi yang sangat serius.

Pak Arif mengangguk sambil menyilangkan tangan di dada. "Bagus. Sangat relevan dengan era digital. Program sebagai representasi tanggung jawab, dan topi sebagai simbol peran yang harus dimainkan dalam kehidupan modern."

Mas Gani malah bingung. “Bu Tuti, apa hubungannya sama topi?”

Bu Tuti mendesah panjang. “Ini soal beban pekerjaan. Komputer itu seperti kita, Mas Gani. Dia butuh sesuatu yang menutupi tanggung jawabnya, makanya pakai topi.”

Pak Arif menepuk bahu Bu Tuti. “Luar biasa. Saya sangat mengapresiasi kedalaman dari jokes ini. Sangat dewasa.”

Pada akhirnya, sesi "joke time" mereka berakhir bukan dengan tawa yang meledak-ledak, melainkan dengan refleksi mendalam tentang hidup, pekerjaan, dan tanggung jawab. Mungkin tidak ada yang terbahak-bahak, tapi setidaknya mereka merasa telah "bercanda" dengan cara yang sangat… serius.

Di luar ruangan, rekan-rekan kerja yang lain mengintip sambil mengerutkan dahi. “Mereka ngapain sih? Bercanda kok malah kaya lagi rapat serius?”

Tapi bagi Pak Arif, Bu Tuti, dan Mas Gani, jokes mereka mungkin memang tak bikin ngakak—tapi justru mengingatkan mereka bahwa terkadang, humor dewasa lebih sulit dipahami dari sekadar tertawa lepas.

Dan mungkin, itulah yang paling lucu dari semuanya.

Post a Comment for "Cerpen: Bercanda Serius"