Fikri, seorang remaja berusia 17 tahun, tumbuh di sebuah desa kecil yang tenang. Selama bertahun-tahun, ia hidup dalam lingkungan yang akrab—dikelilingi oleh keluarga, teman-teman masa kecil, dan tradisi yang ia pahami. Namun, setelah lulus SMA, Fikri harus menghadapi kenyataan bahwa masa depannya terletak di kota besar, tempat ia melanjutkan pendidikannya di universitas terkenal.
Hari pertama di kampus terasa seperti dunia yang sepenuhnya baru baginya. Suasana hiruk-pikuk kota besar, orang-orang yang datang dari latar belakang berbeda, serta budaya dan cara berpikir yang jauh lebih terbuka membuat Fikri merasa asing. Ia terbiasa dengan kesederhanaan dan kedekatan masyarakat desa, namun kini, ia harus beradaptasi dengan lingkungan yang penuh dengan ambisi, kompetisi, dan gaya hidup modern.
Dalam beberapa bulan pertama, Fikri merasa terisolasi. Teman-teman barunya di kampus tampak memiliki cara pandang yang berbeda tentang banyak hal—dari pandangan tentang karier hingga nilai-nilai kehidupan. Di tengah percakapan mereka tentang tujuan hidup, networking, dan kesuksesan, Fikri sering merasa dirinya tidak relevan. Perspektif yang ia bawa dari desa, tentang pentingnya kebersamaan dan kesederhanaan, seolah memudar di balik ambisi pribadi yang terlihat dominan di kota.
Namun, lambat laun Fikri mulai menyadari bahwa perbedaan ini bukanlah sebuah halangan, melainkan peluang. Ia mulai membuka diri untuk mengenal lebih dalam teman-teman barunya. Dari mereka, ia belajar tentang pentingnya berpikir kritis, merancang masa depan, dan memanfaatkan peluang yang ada. Sementara itu, Fikri juga tetap mempertahankan nilai-nilai kebersamaan dan kepedulian yang ia bawa dari desa.
Satu peristiwa yang membuka matanya adalah ketika salah satu teman dekatnya, Arsyad, bercerita tentang bagaimana tekanan di lingkungan kota membuatnya kehilangan makna dalam hubungan sosial. Fikri melihat bahwa, meskipun teman-temannya memiliki banyak ambisi, mereka juga sering merasa terasing dan kesepian dalam lingkungan yang kompetitif. Di sini, Fikri mulai menyadari bahwa pandangannya tentang pentingnya kehangatan sosial adalah kekuatan yang langka di dunia baru ini.
Dalam prosesnya, Fikri tidak hanya berubah, tetapi ia juga membawa perspektif baru ke dalam lingkungannya. Ia mulai mengajak teman-temannya untuk lebih menghargai kebersamaan, bukan hanya dalam hal prestasi pribadi. Ia menjadi penghubung antara dua dunia yang ia kenal—kesederhanaan desa dan ambisi kota besar.
Pada akhirnya, perjalanan Fikri menuju kedewasaan bukanlah tentang memilih antara dua perspektif yang berbeda, melainkan tentang menyelaraskan keduanya. Dalam lingkungan sosial yang baru, ia menemukan jati dirinya dan bagaimana ia bisa memberikan dampak positif, baik bagi dirinya maupun orang-orang di sekitarnya.
Post a Comment for "Cerpen: Di Antara Dua Dunia"