Gambar Dokumentasi Pribadi. Sahabat-sahabat Jurnalistik |
Catatan kali ini adalah tentang perkelanaan sekumpulan pemuda yang berasal dari studi yang sama.
Para pendekar pena atau lebih tepatnya calon-calon penulis nantinya, memenuhi hasrat untuk bepergian ditempat yang sunyi dari keramaian hiruk pikuk kota.
Puncak Popalia menjadi destinasi sasaran kali ini. Lagi-lagi puncak bukit menjadi tempat yang cukup nyaman untuk mengeluarkan banyak peluh dari Kungkungan anak indekos yang selalu rebahan melulu. Kembali ke alam adalah judul yang otentik pada catatan sederhana ini.
Dengan jarak 1 Jam perjalanan tidaklah terasa kalau bersama-sama kolega berangkatnya, membelah kota menyusuri jalur belantara hutan sampai pada perkampungan di desa Wolasi Kabupaten Konawe Selatan. Kendati Senja Maghrib sudah tak mungkin untuk dinikmati karena tiba di lokasi setelah kumandang Isya memanggil, tetapi masih ada kesempatan memandangi semburat fajar, bukankah senja tidak harus petang ?
Mendaki memang merupakan suatu aktivitas fisik yang melelahkan. Apalagi trek yang dilewati itu cukup menantang. Tetapi ini tidak tentang mendaki saja, tapi proses menuju puncak adalah bagian penting dari sebuah pendakian. Di puncak bukit Popalia kita disediakan tempat alami untuk memegang apa yang bisa kita raih, bahkan tak jarang akar pepohonan jadi pegangan untuk semakin menuju atas.
Kontur tanah yang licin, bebatuan kecil seketika menggelinding kebawah, juga beberapa sahabat nampak merayap seperti cicak, itu menunjukkan bahwa sangking sulitnya medan yang dilewati. Curam ya sudah pasti , bayangkan saja sekeliling trek itu adalah samping kiri kanan jurang dalam perut hutan, maka pasti dan pasti setiap pijakan kaki harus berhati-hati ekstra.
Dalam pendakian ini tidak semata para lelaki saja, tetapi beberapa perempuan tangguh ikut juga mendaki meski dengan tertatih-tatih. Perempuan yang suka mendaki adalah bunga edelweis yang abadi dalam syair para pujangga. Mekar pada puncak dan sulit untuk dicapai, sungguh murni langka.
Sekitar sejam kami sampai ke puncak dengan napas yang memburu, dan pakaian tubuh yang basah karena cucuran keringat. Meskipun demikian semua bahagia karena udara sejuk bukit yang diselimuti rerimbunan hijau, dan jarak pandang yang luas diatas menjadi sensasi tersendiri untuk menikmati panorama alam Sulawesi Tenggara.
Kelap kelip kota diseberang sana sudah cukup untuk berasumsi bahwa itu adalah Kendari, hanya itu kemungkinan besar karena perkotaan besar hanya wilayah tersebut. Sementara dibagian lain nampak lampu-lampu temaram sepanjang seberang jalan bersama kabut malam yang merindu. Merindukan kehangatan, cerita, kedekatan, dan cinta. Pedesaan yang masih asri dan asli.
Banyak cerita yang lahir. Keluh kesah, suka cita, pengalaman pribadi, masalah kehidupan yang penuh dilema, perasaan gundah gulana, atau apapun itu semua jadi satu kesatuan, pengalaman yang tak pernah ada habisnya. Terserah jika mau dibumbui dengan kebohongan sedikit, barangkali sebagai penyedap rasa agar semakin sedap untuk didengarkan.
Berceritalah Sahabat! Keluarkan semua keluh kesah mu, disini kita berbagi kenangan, sharing ilmu pengetahuan dan Semoga semakin mengeratkan hubungan kekeluargaan kita. Barangkali api unggun yang membakar, menambah kehangatan kita dalam bercengkrama bersama alam sebelum merengkuh dingin yang betul-betul menggigilkan.
Selamat berpetualang Sahabat, jangan lupa untuk terus mengukir kenangan lewat catatan pengalaman.
Musafar Ukba
Top markotop
ReplyDeleteSiap
Delete#Anjingjuga
ReplyDeleteYei
DeleteNice kawan
ReplyDeleteSiap kawan
Delete