Proses pembuatan film pertama kali di Indonesia adalah pada masa Kolonialisme tahun 1919, namun pada saat itu masyarakat pribumi, Eropa, dan Tiongkok, belum terlalu butuh akan hiburan. Karena film yang ditayangkan itu lebih digemari oleh kalangan elite Eropa.
Justru belasan tahun berikutnya tepatnya ketika terjadi depresi ekonomi era 1930-an industri perfilman mulai diminati bahkan kehadiran bioskop menjamur di Batavia kala itu. Sebagai bentuk peralihan dari kejenuhan dan kebutuhan akan hiburan.
Sekalipun film pada dasarnya merupakan produk impor akan tetapi setelah lebih dikenal masyarakat Hindia- Belanda melalui surat kabar, lisan ke lisan, hingga muncul desas-desus produksi film sendiri oleh kolonial Hindia Belanda, Itu semua terjadi di era Depresi ekonomi.
Depresi Ekonomi terjadi pada tahun 1929. Krisis ini ditandai dengan jatuhnya Bursa Saham New York sehingga turut mengurangi jumlah investor asing dan mengurangi sumber pemasukan terhadap negara-negara jajahan atau langganan importir. Baik negara industri besar sampai negara berkembang mendapatkan dampak yang signifikan lantaran volume perdagangan internasional berkurang drastis.
Di fase akhir depresi ekonomi(1936 ke atas) jumlah produksi film semakin meningkat. Bahkan orientasi nasionalisme perfilman itu juga di gagas oleh Komunitas Tionghoa yang merupakan masyarakat Hindia Belanda pada saat itu. Pada tahun 1936 ada sekitar 90 Bioskop milik etnis Tionghoa tersebar di pulau Jawa dan luar Jawa.
Etnis Tionghoa merupakan salah satu perintis film lokal. Karya film yang ditampilkan umumnya mengacu pada fiksional Masyarakat Indonesia atau Hindia Belanda, yang terinspirasi dari gaya film Hollywood barat dan film kehidupan masyarakat Shanghai yang di masukkan pada tahun 1924.
Sedangkan untuk penjajah Belanda itu umumnya membuat suatu film lokal yang merepresentasikan etnografis Hindia Belanda(Indonesia) sebagai daerah jajahannya.
Pada saat yang sama sungguh ironis perekrutan bintang-bintang film itu umumnya di dominasi oleh etnis Tionghoa era dekade 1930-an. Sedangkan pada dekade 1920-an itu penghuni Bioskop didominasi oleh bangsa Eropa. Mereka sangat menyukai film Eropa dan Amerika.
Salah seorang produser film era 1920-an yakni ph Charli, itu menayangkan film Suara Darah pada tahun 1930 tentang drama sebuah keluarga biasa yang terjadi antara Totok dan Indo. Film ini pada perjalanannya hanya diminati oleh bangsa Eropa yang sangat minim minat pribumi untuk menyaksikannya. Justru dekade 30-an produksi Film oleh etnis Tionghoa dan pribumi lebih mendapatkan peminat yang juga Mendongkrak Potensi komersial ditengah krisis yang melanda.
Perlu diketahui bahwa era Depresi Ekonomi bukan berarti tidak mengalami situasi pelik. Justru kolonialis Hindia-Belanda melakukan suatu upaya untuk menanggulangi krisis tersebut. Mereka mengeluarkan kebijakan agar biaya masuk atau tiket untuk penonton dinaikkan harganya. Kemudian dana impor di Eropa di alihkan saja ke Masyarakat Asia. Juga mengenakan pajak yang lumayan besar untuk penduduk pribumi, Karena taraf perfilman kala itu lebih disukai oleh masyarakat pribumi.
Kemudian salah satu juga produser film dekade 1930 an yang cukup mentereng adalah Alber Balink. Beliau tidak hanya membuat film yang disukai oleh pribumi, tetapi juga diminati oleh etnis Tionghoa dan Eropa. Pada tahun 1935 dan 1937 tercatat film Pareh dan Terang Bulan yang menjadi bintangnya adalah aktris Indonesia, Roekiah dan Raden Mokhtar yang menjadi cikal-bakal bermunculan bintang-bintang film di Indonesia.
Albert Balink juga merupakan seorang Jurnalis yang memvisualisasikan ihwal Candi Borobudur sehingga menjadi Tersohor di mancanegara. Beliau mengawinkan berbagai elemen dalam tayangan film produksinya seperti, romansa, pemandangan alam,perkelahian, dan lagu Melayu populer, semua itu dipadukan dan menjadi daya tarik tersendiri kala itu ditengah depresi ekonomi yang melanda dunia.
Baca juga: Strategi Pendirian Pesantren Tebuireng 1899 Oleh K.H Hasyim Asy'ari
Namun situasi berkembangnya industri perfilman itu tidak bertahan lama, karena setelah perang dunia II mengubah semua konfigurasi tatanan politik yang ada di Hindia Belanda (Indonesia) Termasuk perfilman yang saat itu juga Jepang Masuk ke Indonesia.
Post a Comment for "Sejarah Perfilman Hindia-Belanda (Indonesia) Era Depresi Ekonomi"